Kemerdekaan Indonesia tak lepas dari banyaknya jasa para pahlawan yang sudah rela menghabiskan waktu dan tenaga, bahkan nyawa untuk membebaskan bangsa dari belenggu penjajah. Banyak yang belum mengetahui jika Kabupaten Majalengka memiliki seorang pahlawan yang sangat terkenal di tataran Tanah Sunda. Ia dikenal sebagai ulama dan juga berfokus pada pendidikan masyarakat di tengah penjajahan kala itu. Kiai Haji Abdul Halim adalah ulama besar dan tokoh pembaharuan di Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan kemasyarakatan. Ia lahir di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka pada 4 Syawal 1304/26 Juni 1887 dan meninggal di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, 1381 H/1962 M. Pada 1940, ia bersama KH A Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper, di Jakarta untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1947, ia bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga menentang keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh Belanda. Abdul Halim terlahir dengan nama asli Otong Syatori. Namun, setelah menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi Abdul Halim. Ayahnya bernama KH Muhammad Iskandar, penghulu Kewedanan Jatiwangi, dan ibunya Hajjah Siti Mutmainah binti Imam Safari. Abdul Halim adalah anak terakhir dari delapan bersaudara. Ia menikah dengan Siti Murbiyah, putri KH Mohammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka (sebanding dengan kepala Kandepag Kapubaten sekarang). Sejak kecil Otong Syatori sudah mendapat pendidikan agama. Pada usia 10 tahun ia sudah belajar membaca Al Qur’an, kemudian menjadi santri pada beberapa orang kiai di berbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sampai mencapai usia 22 tahun.
Sejak kecil Kiai Halim tergolong anak yang gemar belajar. Terbukti ia banyak membaca ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan. Ketika berumur 10 tahun Kiai Halim belajar al-Qur'an dan Hadis kepada K.H. Anwar, yang sekaligus menjadi guru pertamanya di luar keluarganya sendiri. K.H. Anwar merupakan seorang ulama terkenal dari Ranji Wetan, Majalengka. Sebagai penggemar ilmu, Kiai Halim juga mempelajari disiplin ilmu lainnya, tidak pandang apakah yang menjadi gurunya sealiran (Islam) ataupun tidak, asalkan dapat bermanfaat bagi perjuangannya kelak. Hal itu terlihat ketika Kiai Halim belajar bahasa Belanda dan huruf latin kepada Van Hoeven, seorang pendeta dan misionaris di Cideres, Majalengka.
Abdul Halim merupakan salah satu dari enam tokoh muslim yang bergabung dalam salah satu badan penasihat Gunseikan, Cuo Sangi In. Badan ini memiliki anggota berjumlah 43 orang. Pada bulan Mei1945, ia diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembentukan negara. Dalam BPUPKI ini Abdul Halim duduk sebagai anggota Panitia Pembelaan Negara. Sesudah Republik Indonesia berdiri, Abdul Halim diangkat sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (PB KNID) Cirebon. Selanjutnya ia aktif membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua yang dimulai tanggal 19 Desember1948, Abdul Halim aktif membantu kebutuhan logistik bagi pasukan TNI dan para gerilyawan. ResidenCirebon juga mengangkatnya menjadi BupatiMajalengka. Pada 1928, ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan K.H.M Anwaruddin dari Rembang dan K.H. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada 1937 di Surabaya. Sesudah perang kemerdekaan berakhir, Abdul Halim tetap aktif dalam organisasi keagamaan dan membina Santi Asromo. Namun, sebagai ulama yang berwawasan kebangsaan dan persatuan, ia menentang gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo, walaupun ia tinggal di daerah yang dikuasai oleh Darul Islam. la juga merupakan salah seorang tokoh yang menuntut pembubaran Negara Pasundan ciptaan Belanda. Dalam periode tahun 1950-an Abdul Halim pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat DaerahJawa Barat dan kemudian menjadi anggota Konstituante.